DSantri.ID, Bungo– Siapa yang tidak kenal dengan nama Diniyyah Al-Azhar, sebuah lembaga pendidikan yang sampai saat ini tetap eksis dan telah banyak melahirkan para Ulamawan, profesional, ekonom dan pengusaha dengan berbagai macam bidang garapan.
Diniyyah Al-Azhar merupakan satu-satunya lembaga dengan unit pendidikan terlengkap di Provinsi Jambi dan telah berstabdar internasional.
Adalah Dra. Hj. Rosmaini, MS, M.Pd.i, wanita yang biasa disapa Umi. Dari bahasa Arab yang dalam bahasa Indonesia bearti Ibu. Umi merupakan Pendiri sekaligus Pimpinan Perguruan Diniyyah Al-Azhar yang dulunya bernama Perguruan Diniyyah Putri Muara bungo. Tepat pada 48 tahun yang lalu, Umi berhasil mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam khusus Putri di Kota Muara bungo. Pendirian Perguruan Diniyyah Al-Azhar ini sendiri merupakan cita-cita beliau sejak menempuh pendidikan di Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang.
Tahun 1964, setamatnya beliau dari pendidikan Dasar, lantas memutuskan untuk Hijrah dari kota Muara bungo menuju kota Padang Panjang. Diniyyah Putri padang panjang begitu akrab ditelinganya setelah melihat kerabat dan tetangga yang anaknya pulang dari Padang Panjang bersekolah di Diniyyah Putri. Sehingga secara memotivasi diri Umi kecil pada saat itu untuk ikut pula merantau, menimba ilmu dan merubah nasib untuk masa depan yang lebih baik. Pada saat itu kondisi perempuan tidaklah diharapkan betul untuk berpendidikan apalagi meraih sarjana, melainkan untuk segera dinikahi dan mengarungi bahtera rumah tangga, melayani suami dan membesarkan putra putri tercinta.
Sebuah ideologi yang sangat kurang tepat jika melihat kepada Dalil islam tentang pandangan kepada kaum perempuan yang seharusnya sangat perlu dibekali pendidikan karena Ibu merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya dan Perempuan pula merupakan tiang Negara yang apabila perempuannya baik maka negara akan kokoh begitupun sebaliknya.
Berangkatlah Umi pergi meninggalkan kota Muara bungo dengan rasa yang bercampur aduk. Senang bertemu banyak teman baru dari seluruh daerah di Indonesia. Sedih meninggalkan segala bentuk fasilitas serba ada di Rumah karena Umi merupakan anak satu-satunya. Ayah Umi merupakan pensiunan Polisi dan memiliki Rumah makan di Daerah Pasar Muara bungo dan merupakan seorang pekerja keras. Ibu Umi merupakan ibu Asuh, karena ibu yang melahirkan Umi telah berpisah dengan Ayah dan tinggal di kota lain bersama suaminya yang rujuk kembali.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Setahun sudah Umi menimba ilmu di Diniyyah Putri Padang Panjang. Berada di kaki Gunung Merapi dan Singgalang. Udaranya dingin, sejuk airnyapun bersih dan jernih. Banyak santriwati yang datang bukan hanya dari Sumatera Barat, namun juga seperti Aceh, Medan, Riau, Jambi, palembang, Lampung Makassar dan lain-lain. Semuanya menambah khazanah ukhuwwah islamiyah apalagi tinggal di satu asrama yang apapun dilakukan bersama-sama. Sekolah, belajar, makan, tidur, olahraga dan sebagainya. Sebuah suasana baru yang sangat membuat umi bahagia. Santriwati tersebut sebagian besar merupakan anak orang terpandang di daerahnya. Jelas saja, pada zamannya pemahaman pendidikan untuk kaum perempuan belumlah mendapatkan cukup pembalaan akan hal ini karena belum terbentuknya pola pikir yang tepat tentang pendidikan itu sendiri. Diniyyah putri padang panjang merupakan pesantren putri pertama di Indonesia yang didirikan oleh Bunda Rahmah El Yunusiyah pada tahun 1923. Sungguh inovasi yang sangat hebat di zamannya. Dikala masyarakat masih termarjinalkan dengan pemikiran tentang perempuan yang tidak lepas hanya berkutat pada masalah Dapur dan Ranjang, tapi juga harus mengenyam pendidikan yang cukup sebagai bekal masa depannya.
Disaat sedang bahagianya menimba ilmu di Pesantren, Umi mendadak mendapat kabar dan diminta untuk segera pulang. Dengan alasan akan dinikahkan. Jodoh sudah disiapkan, kerbaupun apalagi. Sebagai anak satu-satunya, mungkin karena ayah Umi sangat sayang kepada umi dan menginginkan umi untuk segera menikah. Memang kondisi anak perempuan pada zaman itu begitu, anak perempuan jika sudah sampai pada masa aqil baligh dan jika sudah ada yang datang meminta maka jika orang tua setuju akan segera dinikahkan. Dan rata-rata antara usia 11-16 tahun. Sekolah atau pendidikan belum dirasa cukup penting.
Hati Umi bergejolak, bingung dan sangat dilema. Ayah umi yang merupakan pensiunan polisi merupakan seorang yang tegas, tidak banyak bicara dan sangat konsisten. Sempat kiriman uang diberhentikan dengan maksud agar umi menyerah dan mau menuruti keinginan Ayah Umi dinikahkan dengan seorang pria yang merupakan seorang pelaut. Namun umi memang sepertinya tidak mudah menyerah. Sama-sama keras dengan keinginan masing-masing. Ya, bukan umi namanya jika mudah menyerah. Tangguh kalau boleh saya bilang.
Penderitaanpun mulai umi rasakan, di pesantren makan yang disiapkan hanya untuk makan siang dan malam. Otomatis paginya seluruh santriwati makan pagi dengan membeli di kantin. Sayang beribu sayang, apalah daya umi tidak mendapat kiriman. Sudahlah SPP bulanan belum dibayar, uang jajan pun tidak ada. Setiap pagi selama bertahun-tahun umi harus menahan lapar karena tidak ada yang bisa dimakan. Uang untuk membeli sarapan tidak ada. Setiap kali teman-teman umi mengajak umi ke kantin pada jam istirahat, selalu ada alasan untuk umi menolak dengan baik sampai harus memikirkan alasan apalagi berikutnya untuk setiap harinya. Tapi disaat kelas sudah kosong tanpa teman-teman umi lainnya, umi menangis sejadi-jadinya dan disitulah Azzam terpatri. Umi berjanji kepada Allah, Ya Allah, kelak suatu saat aku akan mendirikan sekolah yang dimana akan memprioritaskan pendidikan bagi anak yang tidak mendapatkan dukungan untuk bersekolah.
Inilah yang menjadi Niat awal dan pondasi Utama dan semakin semangat menyelesaikan pendidikan di Diniyyah Putri padang Panjang.
Tanpa terasa, 12 tahun sudah berlalu, Umi berhasil menyelesaikan Sarjana Muda sampai menjadi Guru di Diniyyah Putri Padang Panjang. Sebuah keberhasilan yang dibaliknya tersimpan banyak pengorbanan yang menempah diri menjadi pribadi yang tangguh demi sebuah amanat diri dan cita-cita.
1975, Umi memutuskan untuk kembali ke kampung halaman, Muara bungo tercinta. Disana umi mulai merintis pembangunan Diniyyah putri Muara bungo sambil mengajar pendidikan Agama di SMAN 1 Muara bungo. Ya, mata pelajaran yang tidak begitu dipentingkan pada saat itu. Hanya 2 jam per-minggu. Tapi sebenarnya disitulah kunci kehidupan yang sebenarnya.
Mengayuh sepeda, mendatangi satu persatu tokoh masyarakat meminta dukungan dan menjalin silaturahim demi memperkokoh dan menguatkan niat yang terpatri di diri. Ada cemoohan, mereka bilang perempuan apalagi masih muda bisa apa?. Sudah ke dapur saja. tidak akan mungkin berhasil apa yang akan kamu lakukan itu hanya mimpi di siang bolong. Namun banyak pula yang memberi dukungan seperti Bupati dan Camat serta tokoh masyarakat lainnya.
Selama 2 tahun dirasa cukup mencari bekal pendirian, dengan usaha yang maksimal dan penuh keyakinan, 5 Agustus 1977 resmi berdirilah Perguruan Diniyyah Putri Muara bungo dengan menempati sebuah rumah yang dipinjamkan oleh keluarga Almarhum H. Ramli di daerah tanjung gedang, Muara bungo. Murid 1, Guru 2. Ya, Murid 1, guru. Untuk tahun pertama hanya ada 1 murid yang daftar. Tapi apa menyerah?, tidak. Walau dengan satu murid Umi bertekad untuk tetap memulai. Karena keyakinan suatu saat Diniyyah putri akan berkembang seiring kerja keras dan Do’a kepada Allah swt. Banyak tantangan yang dihadapi, masalah yang menghampiri dan resiko yang terlalu tinggi. Namun semua itu hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan yang membaja dalam diri bahwa hanya Allah tempat kembali. Kita manusia berencana, berusaha, selebihnya Allah yang maha kuasa. Begitulah hidup mengajarkan kita.
Kini, memasuki 48 tahun sudah Diniyyah putri menjelma menjadi “Diniyyah Al-Azhar”. Sebuah lembaga pendidikan islam yang sangat dikenal oleh masyarakat Jambi, telah memiliki cabang di 4 kota, Jambi, Muara tebo, Muara Bulian bahkan di Pekanbaru. Telah memiliki peserta didik sebanyak 2.800 orang. Tenaga pendidik dan karyawan 510 orang. Dari PAUD sampai Perguruan Tinggi. Dengan fasilitas yang sangat memadai. Semakin meyakini kita semua akan arti “faidzaa azzamta fatawakkal ‘alallah”. Ketika diri sudah bertekad, maka tawakkalkan kepada Allah. Dan kini, 74 tahun sudah usia umi, usia yang tidak muda lagi. Tentu berbeda dengan 48 tahun yang lalu. Namun apakah umi berhenti sampai disini? Tidak. Perjuangan ini tidak mengenal kata berhenti sampai umi dipanggil Allah. Umi ingin dipanggil, Yaa ayyuhannafsul muthmainnah, irjii ilaa robbiki roodhiyatam mardhiyyah, fadkhulii fii ibaadi wadkhulii jannaati. Begitu harapnya. Tidak ada istirahat yang paling nikmat kecuali di Syurga. Dunia bukan tempat istriahat, tetapi hanyalah persinggahan semata.
Diniyyah Al-Azhar akan terus berkembang, dengan segala cita-cita yang masih diusahakan. Agar terus menjadi manfaat yang banyak untuk ummat. Agar terus menggali potensi untuk keberlangsungan generasi dan yang terpenting sebagai bukti kita sudah mengabdi pada Ilahi. Ilaahi anta maqshuudi wa ridhooka mathluubi. Allahu akbar...